TUGAS ESSAY
"Buruh, Pendidikan, dan Pers"
Sebuah kebetulan yang penuh makna ketika tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh, lalu tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional dan tanggal 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers. Tiga hari, yang jika ditelisik lebih jauh dalam sejarang negeri ini, akan semakin menyuburkan tanya: akan melangkah ke mana negeri ini.
Pada tanggal 1 Mei, buruh di seluruh belahan dunia menggelar berbagai aksi untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh. UU Ketenagakerjaan hanya pro pengusaha, dan mengebiri hak-hak buruh. Pada satu hal, buruh masih dianggap sebagai budak. Dan ini adalah salah satu point penting yang diperjuangkan oleh para buruh di Indonesia.
Indonesia, sebagai bekas negara kolonial, memiliki sejarah panjang dunia perburuhan, mulai perburuhan di perkebunan, dikirim ke luar negeri, hingga buruh-buruh paksa semasa penjajahan Jepang. Salah satu perspektif sejarah perburuhan, dikemukakan oleh M.H.Szekely-Lulofs(1899-1958) dalam sebuah karyanya berjudul Kuli. Meski ditulis dalam bentuk novel, tapi dunia buruh yang diangkat, yakni buruh (kuli) di perkebunan wilayah Sumatera, adalah sebuah sejarah yang benar-benar terjadi. Dalam tulisan tersebut tergambar jelas, bagaimana seorang buruh kehilangan kemanusiaannya. Mereka adalah orang-orang yang “terbeli”. Artinya, mereka tak lagi memiliki hidupnya, yang bergantung pada pengusaha sebagai pemilik kehidupannya. Dan bagaimana nasib buruh sekarang?
Lalu, pada tanggal 2 Mei para guru, siswa, dan semua warga Indonesia menggelar berbagai kegiatan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Kegiatan paling minim adalah menggelar upacara di sekolah. Dan lagi-lagi, memperingati Hari Pendidikan Nasional sebenarnya hendak memperingatkan kita tentang substansi pendidikan bagi sebuah bangsa.
Pendidikan Indonesia mulai terjebak pada angka-angka yang pada satu sisi tetap dibutuhkan sebagai sebuah ukuran. Hanya saja, angka-angka akan menjadi luruh ketika dihadapkan pada moralitas, kejujuran, kedisplinan, kebersamaan, rasa tanggungjawab, rasa kenegarawanan dan lain-lain. Dan kini, pendidikan dengan memuja angka-angka itu, menjadikan anak-anak terbebani luar biasa. Bahkan, ketika mereka masih usia pra-SD.
Salah satu hal yang selalu luput dalam Hari Pendidikan Nasional adalah kampanye membaca. Banyak sekolah yang masih tidak memiliki perpustakaan. Atau ada perpustakaan, namun tidak terawat dengan baik. Dunia membaca (entah sampai kapan) masih tercerai dari dunia pendidikan. Seakan membaca itu hanya sarana belajar semata, dan tidak perlu diperhatikan serius. Padahal, pada tingkat usia sekolah, siswa harus dikenalkan dengan dunia membaca sebagai sebuah kebutuhan. Kebutuhan mereka sebagai manusia, bukan hanya kebutuhan sebagai siswa.
Sehari setelah Hari Pendidikan Nasional, para insan pers memperingati Hari Kebebasan Pers. Ada sebuah artikel yang ditulis Dewi Yuliati yang dimuat di jurnal Sejarah edisi 5 (Juli 1994) berjudul “Semaoen, Serikat Buruh dan Pers Bumiputera dalam Pergerakan Kemerdekaan (1914-1923)”. Artikel itu begitu tepat menggambarkan bagaimana nasib buruh dan pers Indonesia pada masa pra kemerdekaan.
Semaoen yang menjadi jurnalis di Sinar Hindia banyak menulis kritik pedas kepada pemerintah. Akibatnya, ia sering keluar-masuk penjara gara-gara tulisannya tersebut. Pada tanggal 1 Mei 1918, Semaoen tidak saja menjadi redaktur Sinar Hindia, melainkan juga menjabat sebagai Direktur penerbitan dan percetakaan surat kabar tersebut. Selain bergerak di Sinar Hindia, Semaoen juga mengendalikan Sarekat Islam Semarang.
Pada edisi tanggal 7 September 1918 Semaoen menulis “Kaum boeroeh mendapat belandja moerah-moerahan sebab terpaksa; harga barang-barang keperloean hidup selaloe naik-naik sadja; pemerintah menambahi padjeg-padjegnya rakjat. Rakjat tambah miskin, kaoem oeang Belanda tambah kaja.” Semaoen sangat menentang perbudakan, yakni perburuhan yang hanya memperbudak saja.
Sekarang, ketika negeri ini berjalan mengibarkan kemerdekaan, menggenggam erat semangat reformasi, nasib buruh, dunia pendidikan dan dinamika pers masih jauh dari harapan. Buruh masih menjadi kelompok masyarakat yang marjinal. Sedang dunia pendidikan belum mampu menyeret bangsa ini keluar dari krisis korupsi. Dan pers semakin terjerumus pada kapitalisasi media dan politisasi media. Oleh karena itu, moment yang penting ketika tanggal 1 Mei, lalu 2 Mei dan 3 Mei menjadi hari yang bersejarah.
Dalam hari-hari yang bersejarah itu, Indonesia seharusnya mampu mencetak sejarah gemilang. Dan salah satu ukuran paling gampang untuk membawa Indonesia gembira, adalah kesejahteraan rakyat. Hari-hari yang bersejarah itu hanya akan memenuhi lipatan-lipatan sejarah saja, ketika rakyat tidak sejahtera.
M. Rizal Kurniawan (20120720167)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar