REVIEW FILM
Saya ingin bercerita dan mereview tentang salah satu film yang (menurut saya) merupakan salah satu film indonesia yang terbaik yang pernah saya tonton.
Tanah Surga.. Katanya.
Judulnya emang agak aneh, tapi bagi penggemar buku dan film pasti langsung bisa menerka apa sebenarnya pesan yang ada dibalik tiga kata dalam judul tersebut. Kekayaan indonesia, tak terawat, dan semacamnya. itu kesan pertama yang saya tangkap. Yap, ga salah kok.
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu kehilangan rasa cinta pada negeri ini.” Demikian pesan Hasyim (Fuad Idris), mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia pada tahun 1965 yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, kepada cucu kesayangannya, Salman (Osa Aji Santoso). Melanglang jauh ke utara meninggalkan Pulau Jawa menuju perbatasan Indonesia dan Malaysia di sebuah perkampungan terpencil yang terbelakang di Kalimantan Barat, Tanah Surga... Katanya mengambil tempat. Terinspirasi dari lagu legendaris milik Koes Plus, ‘Kolam Susu’, film kedua dari sutradara penghasil Jagad X Code, Herwin Novianto, ini tak jauh berbeda dengan karya-karya Deddy Mizwar sebelumnya, sebuah satir terhadap situasi dan kondisi di tanah air tercinta, Indonesia. Ya, ini adalah film produksi Demi Gisela Citra Sinema milik Deddy Mizwar yang sebelumnya juga telah sentil sana-sini lewat Ketika, Nagabonar Jadi 2, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan Kentut. Sekalipun tak lagi berada di garda depan dan ditemani Musfar Yasin, beliau tetap melancarkan sindiran-sindiran yang menohok terhadap pemerintah serta memberikan penonton bahan untuk berkontemplasi.
Setelah mengulik seputar pejabat-pejabat yang korup serta sarjana pengangguran, Tanah Surga... Katanya asyik membahas mengenai polemik antara Indonesia dengan negara tetangga, Malaysia, yang tidak kunjung mencapai titik temu dan seakan tiada berkesudahan. Danial Rifki, yang tak kalah ciamik dengan Musfar Yasin dalam menggarap naskah yang vokal, tidak mengangkat isu seputar klaim budaya yang akhir-akhir kerap menjadi sorotan media atau perebutan Pulau Sipadan. Akan terlalu berat untuk dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga, tentunya. Permasalahan yang diapungkan cukup sederhana, rumput tetangga tampak lebih hijau dari rumput sendiri. Sejumlah masyarakat Indonesia berbondong-bondong mengadu nasib ke Malaysia karena dari segi perekonomian, disana lebih menjamin. Setidaknya, ada harapan yang bisa dimiliki. Bahkan putra Hasyim, Haris (Ence Bagus), menikahi seorang wanita Malaysia agar tidak kesulitan dalam mengais rezeki. Dia memboyong putrinya ke Malaysia, sementara Salman kekeuh tinggal di kampung halaman menemani sang kakek yang sakit-sakitan. Disamping kisah Hasyim dan keluarganya, penonton pun disodori dengan kisah Astuti (Astri Nurdin), guru satu-satunya di perkampungan tersebut, dan dr. Anwar (Ringgo Agus Rahman), seorang dokter muda. Sekalipun pada akhirnya mereka mencintai apa yang mereka lakukan, akan tetapi baik Astuti maupun Anwar ‘mengabdi’ ke masyarakat di kampung halaman karena sebuah keterpaksaan.
Lucu sekaligus miris tatkala terungkap bahwa teman-teman sebaya Salman tidak mengetahui bentuk Sang Saka Merah Putih, serta mereka mengira ‘Kolam Susu’ adalah lagu kebangsaan Indonesia. Untuk melancarkan transaksi jual beli, alih-alih memakai Rupiah, penduduk kampung justru terbiasa dengan Ringgit Malaysia. Dan apa yang dilukiskan dalam film ini, memang benar adanya. Saya pun jadi teringat dengan salah satu dialog diLewat Djam Malam, “apa guna merdeka selagi periuk kita masih tergantung pada bangsa lain?.” Apakah itu berarti perkampungan ini masih belum bisa dikatakan merdeka lantaran tak sepenuhnya merasakan hasil kemerdekaan secara mutlak yang diperjuangkan oleh para pendahulu? Apakah makna sesungguhnya dari kemerdekaaan? Dirilis menjelang peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tanah Surga... Katanya seolah ingin menggugat pemerintah yang tidak memedulikan nasib wong cilik, utamanya yang berada jauh dari pusat pemerintahan dan berada di batas negara. Sekalipun banyak pesan yang disampaikan untuk para petinggi, trio Herwin Novianto, Danial Rifki, dan Deddy Mizwar - serta Gatot Brajamusti - pun tidak melupakan pesan untuk masyarakat yang perlahan-lahan mulai kehilangan nasionalisme.
Film ini bercerita tentang kehidupan warga di daerah terluar Indonesia, di perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Film ini berusaha memberikan pesan kepada bangsa Indonesia, bahwa di ujung utara di garis terluar negara kita ini terdapat kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kehidupan tetangga mereka yang merupakan warga Malaysia, yang jaraknya hanya sepelemparan batu.
Salman, anak SD kelas 4 yang mempunyai seorang kakek bernama Hasyim dan adik perempuan serta ayah yang bekerja di Malaysia. Kakek Hasyim merupakan veteran perang ketika pada tahun 65 Indonesia menyatakan perang terhadap Malaysia. Beliau adalah salah satu orang yang masih memegang teguh nasionalismenya ditengah tawaran menggiurkan terhadap "kehidupan" yang lebih baik di negara tetangga. Selain Salman dan Kakek Hasyim, ada tokoh dr. Anwar dan Ibu guru Astuti sebagai pihak yang masih sejalan dengan kek Hasyim. Mereka adalah tokoh-tokoh protagonis yang paling banyak membawakan dan menyampaikan pesan nasionalisme dalam film ini.
Ditengah kehidupan di "sisi Indonesia" yang tidak pernah mendapatkan perhatian, mereka selalu bangga bahwa mereka merupakan bagian dari negara ini. Padahal, jika mereka mau menyeberang ke "sisi Tetangga" mereka akan mendapatkan perhatian, pelayanan, dan kehidupan yang lebih layak. Tapi disinilah mereka sekarang, teguh dengan pendiriannya.
Melihat film ini sama saja kita melihat gambaran buruk bangsa kita. selalu diperbandingkan dengan negara tetangga yang memiliki tingkat kehidupan yang lebih laik. Jalan kita tanah, mereka aspal. Kendaraan kita perahu, kendaraan mereka truk. Kita berbicara dengan radio, mereka berbicara dengan telepon seluler. Bendera mereka dipancang di tiang, bendera kita dijadikan alas berjualan.
Bahkan saya malu jika masih mengeluhkan pendidikan yang telah saya dapatkan. Membanggakan pakaian dengan merk luar negeri yang saya kenakan. Makan di restoran luar negeri yang selalu saya pamerkan. Mereka disana bersekolah di sekolah dari kayu. Mereka menggunakan ringgit sebagai uang mereka. Mereka menyanyikan "kolam susu" sebagai lagu wajib mereka. Dan bahkan mereka tidak tau cara menggambar bendera merah putih.
Perbatasan seharusnya dijadikan beranda depan, tempat kita menyambut tamu, bukan dijadikan halaman belakang dimana kita membuang sampah. Ini merupakan film yang sangat recomended buat ditonton. Serius, percaya deh.
pereview: M.Rizal Kurniawan (20120720167)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar